This is the draft I'm working on. Be sure to read it through, and create the completed version of your own. You can use [...OMITTED...] section as a place to start. Please contact me if you've already done with it, so
I can publish it here with the copyright of your own, and others visiting this blog can enjoy your work too (^_^).
NAMAKU IIS
Oleh: Wahyu Adi Setyanto
Namaku Iis. Umurku 21 tahun. Yang kuingat, di dalam tenda yang tak pernah kami tinggalkan dalam beberapa hari terakhir, ada 3 kawan yang terbujur kaku; yang satu tidur meringkuk, sedangkan yang lain hanya terbaring tenang. Semula kami berangkat bertujuh, tetapi 3 orang lagi telah pergi menembus hujan angin yang sepertinya tak pernah berhenti.
Entah berapa hari-mungkin lebih tepat, berapa minggu-aku dan kawan-kawan terjebak di situ. Tidak begitu jelas. Hanya ada hujan dan petir yang terus menyambar; angin bernafsu meruntuhkan rangka tenda doom yang kami tahan dengan susah payah. Tak dapat pula kuingat-meskipun sangat ingin-kapan terakhir kali kompor gas dan kompor parafin itu menyala. Yang jelas, bekal kami semakin menipis. Beras, mi instan, lauk, coklat, permen; apa pun yang diinginkan oleh perut yang lapar karena kedinginan. Saat bekal itu tak bersisa lagi, aku ingat orang-orang mulai membicarakan hidangan terlezat yang terlintas di kepala. Tidak. Mereka bermimpi. Mereka tahu itu. Lalu hanya terdengar masakan sehari-hari yang terasa nikmat di telinga. Tidak. Itu juga mimpi.
Ternyata, obrolan telah bergeser ke arah perdebatan tentang setia kawan, kebersamaan, pantang menyerah dan basa-basi moral lain. Tanpa pernah kuduga sebelumnya, semua itu berujung pada keputusan untuk meninggalkan 3 jenazah kawanku dan menyelamatkan diri sendiri, membawa apa pun yang masih melekat di badan dan yang bisa termuat dalam ransel. Sesungguhnya, aku juga ingin pulang menyusul mereka, menembus hujan badai yang tak pernah berhenti selama entah berapa hari.
Namun, keraguan tiba-tiba muncul. Apa itu mungkin? Aku tak sanggup meninggalkan mereka di sini; mereka yang telah menitipkan dompet dan gelang kaki dan kalung berbandul logo segitiga itu, yang terlanjur menjadi salam perpisahan tak terucapkan oleh bibir-bibir yang ranum memutih. Kenapa bisa begini? ratapku. Kemana semangat juang itu? Kemana orang-orang yang dulu bercerita tentang pengalaman mendaki ke puncak ini dan puncak itu? Kemana diskusi-diskusi riuh ditemani pisang goreng dan kopi panas di sela-sela asap rokok yang terus menyembul memenuhi ruangan, tentang menggapai puncak dari tiga arah berbeda untuk bertemu di koordinat ruang dan waktu yang sama? Alangkah indahnya kalau itu terjadi. Tapi itu tidak akan terjadi di sini, aku meyakinkan diriku. Sebab kenyataan sudah ada di depan mata.
Dengan gemetar tanganku mengemasi barang-barang yang masih mungkin kubawa ke dalam carrier, meskipun aku tak yakin apakah itu akan berguna atau tidak karena hujan yang mengguyur deras di sela-sela tenda yang kini telah luluh lantak tidak berbentuk lagi. Termasuk kedua pipiku yang masih basah oleh air hujan bercampur keringat dan air mata yang-suka atau tidak suka-kini telah mengalir mengisi kepedihan hatiku. Mereka semua tahu, aku tak terbiasa menangis.
Tapi toh carrier itu akhirnya kupakai juga. Kupungut raincoat yang tergeletak menutupi sebagian ransel yang kini telah kehilangan pemiliknya, lalu kukenakan dengan perlahan. Badanku terguncang dalam tangis dan hujan. Petir menyambar tiba-tiba, membuatku semakin merinding dan memaksaku mengambil keputusan sulit itu. Sekali lagi, kulempar pandangan ke arah mereka, sambil berharap kalau saja tubuh-tubuh itu masih bergerak, merintih atau apa sajalah, agar aku punya satu alasan untuk tetap tinggal. Tapi mereka membuatku kecewa.
***
Aku tak tahu kemana jalan pulang ke pos terakhir. Kucoba mencari jalan yang kami lalui sewaktu berangkat. Nihil. Semua jalan tampak sama. Yang bisa kuingat hanyalah sisa hujan kemarin; potongan ranting yang berserakan dan beberapa pohon yang tumbang memaksaku merangkak untuk melintasinya. Semakin jauh aku berjalan, langkahku semakin berat. Beban di pundak semakin berat saja kurasakan, hingga kutinggalkan tas coklat itu sendiri.
[...OMITTED...]
Yang membuatku heran, kenapa aku kini merasa kegerahan?! Sejak kapan lereng gunung tidak lagi berhawa sejuk?!
[...OMITTED...]
Kuterobos semak-semak rimbun yang siap menelanku bulat-bulat dengan duri tajamnya yang tak sanggup lagi memaksaku mengaduh. Tapi tolonglah. Yang kubutuhkan cuma air. Aku tak pernah merasa segerah ini sebelumnya. Semakin jauh aku berjalan, rasa sakit akibat luka itu semakin terbenam oleh kulitku yang terbakar. Di sekujur tubuhku, kurasakan letupan kecil seperti gigitan semut. Perutku juga terasa aneh; sepertinya ada benda yang terus bergerak mengaduk-aduk seluruh isinya. Apalagi kepalaku, yang berdenyut nyeri dan melayang berputar tiap kali kaki ini kujejakkan ke tanah. Tolonglah. Aku tak tahan lagi.
[...OMITTED...]
Aku terus berjalan dan sesekali merangkak menuruni punggungan bukit. Aku berhenti, memandang ke sekeliling. Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu di kejauhan. Bibirku terasa perih, namum kupaksakan untuk tersenyum. Yang kucari ada di sana, di lembah sempit yang membentuk sungai mati dan menyisakan sedikit air di salah satu cerukannya. Tapi sepasang kaki ini tak mematuhiku lagi. Begitu berat melangkah hingga aku tersandung dan jatuh tersungkur, menyusur seperti papan luncur yang kehilangan kendali, membelah semak dan hamparan lumut berselingan lumpur, tak ubahnya seperti permadani cacat. Meskipun lidahku mengecap cairan anyir bercampur tanah yang langsung kuludahkan berkali-kali, sekali lagi aku masih bisa tersenyum. Yang kucari tepat di depan hidungku. Aku pun merayap dan membenamkan diri ke dalamnya.
[...OMITTED...]
Entah kebetulan atau tidak, samar-samar kudengar orang-orang memanggil-manggil namaku, tapi tenggorokanku tercekat. Aku tak mampu berkata-kata. Mungkin eranganku saat terjatuh barusan yang membawa mereka kemari. Tapi alangkah marahnya aku karena tangan-tangan kekar mereka menarikku paksa dari mata air surgawi yang kutemukan mati-matian. Aku meronta-ronta, hingga semuanya menjadi gelap.
***
[...OMITTED...]
Tubuhku terbujur kaku. Pakaian yang mereka berikan membuatku lebih gerah dari sebelumnya. Aku haus. Mereka hanya memberiku teh hangat, bukannya es teh yang kuminta. Entah apa yang mereka masukkan ke dalam teh itu hingga rasanya demikian getir dan kerongkonganku yang harus meneguknya dengan perjuangan.
[...OMITTED...]
Aku tak mengerti. Sesekali aku melihat sosok yang terbaring lemah
[...OMITTED...]
Kulihat mereka menekan-nekan dadaku dan sesekali mempraktekkan apa yang masih kuingat sebagai pelajaran pertolongan pertama pada sesi materi kelas jauh sebelum pendakian ini. Yang kutahu semua beban ini telah lenyap ditandu 3 orang berambut gondrong dan bertangan kekar. Dan satu hal yang kutekadkan dalam perjalanan terakhir itu adalah: aku kapok naik gunung lagi.
******
Jogjakarta, September 2003